BLOGGER TEMPLATES AND Zwinky Layouts »

Tuesday 28 September 2010

Bisnis online

Modal yang terbatas tidak membuat Afrizal, 27 tahun, menghentikan keinginan untuk menjadi pengusaha tanaman hias.
Bahkan hanya dengan lebih banyak bermodal kemauan dan tenaga, ia terus
mengembangkan usahanya.
Lelaki yang masih bujangan ini mendapat penghargaan Pemenang III
Pengusaha Mikro 2006 Citigroup Microentrepreneurship Award 2006 untuk
Kategori Perdagangan yang diterimanya di Hotel Santika, Jakarta, 30
November 2006.
Penghargaan itu diberikan oleh UKM (Usaha Kecil dan Mikro) Center,
Universitas Indonesia bekerja sama dengan Citibank Peka (Peduli dan
Berkarya) dan Citigroup Foundation.
Dari empat kategori award: perdagangan, pertanian dan makanan olahan,
kerajinan, dan jasa, yang istimewa Afrizal satu-satunya pemenang dari
bisnis pertanian.Areal pajangan tanaman hiasnya yang tidak memiliki
plang nama usaha itu, hanya sekitar 300 meter persegi di halaman
samping dan depan.
Lubuk Minturun terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias di Kota
Padang sejak 1970-an dan masih ada beberapa usaha tanaman hias yang
lebih besar. Tetapi Afrizal mendapatkan penghargaan sebagai pengusaha mikro yang pantang menyerah meski dengan modal kecil.

Afrizal memulai usaha dengan mencoba-coba pada 1995. Waktu itu ia masih pelajar Sekolah Menengah Teknik (STM).
Pulang sekolah, jika ia tidak membantu orang tuanya berjualan sembako
di Pasar Raya Padang, ia mencoba-coba budidaya tanaman hias di rumah.
Penduduk di Lubuk Minturun banyak yang berusaha tanaman hias dan mahir
melakukan pembibitan, membuat Afrizal juga tertarik melakukannya.Di awal-awal usahanya, bersama kakak laki-lakinya
dengan mengendarai sepeda motor, ia berburu induk aglounema sampai ke
Padang Panjang dan Solok yang jaraknya dari Padang lebih 70 km.
“Kakak (laki-laki) saya bahkan sampai tangannya pegal-pegal dan tidak
bisa digerakkan karena lebih satu jam memegang pot bunga di kiri dan
kanan di boncengan dan saya yang mengendarai,” katanya.Karena itu aglonema lokal yang masih punya umbi lebih
cocok sebagai induk dan untuk mendapatkannya ia terpaksa mencari ke
berbagai tempat usaha tanaman hias.
“Ketika banyak tanaman hias didatangkan dari Medan saya juga sempat
mejadi penampung, tapi kemudian pasokan sempat putus dan sekarang sudah
mulai berkurang, jadi terpikir kenapa kita tidak budidayakan sendiri
karena di Padang sendiri masih banyak permintaan,” katanya.

Ia membakar daun-daun dan ranting untuk mendapatkan media tanah yang bagus.

Sebagai pupuk ia mengambil pupuk kandang dari ternak yang banyak di sekitar lokasinya.
Media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis menekan angka
produksinya, sehingga bisa menjual tanaman lebih murah dari pengusaha
lain.
“Banyak pengusaha di sini (Lubuk Minturun-red) yang bertindak sebagai
penyalur tanaman dari Medan, sedangkan saya melakukan pembibitan
sendiri dengan media dan pupuk yang didapatkan dengan gratis, jadi
menjual dengan harga murah pun saya masih untung,” katanya. “Masih langka orang yang melakukan budidaya aglonema,
buktinya harganya masih tinggi, mungkin banyak yang nggak tahu caranya,
bahkan ada yang mengatakan dengan menunggu anaknya, padahal dengan
menunggu anaknya baru mucul dua tahun, jadi bisnis aglounema saya rasa
tidak akan ada ruginya, tidak seperti usaha tanaman hias lain, tetap
berkembang asal jangan dijual semua, termasuk induknya,” katanya.

I“Aglounema mengikuti trend, tapi lama bertahan, entah
karena dia klasik saya kurang jelas, sampai sekarang orang masih
memburunya aglonema, jenis pride Sumatera dulu sebatang yang berumur 8
bulan dihargai Rp80 ribu, sekarang yang berumur 6 bulan bisa Rp200
ribu, kan lebih tiga kali lipat,” katanya.
Budidaya Tanaman adalah Seni
Karena budidaya tanaman hias adalah seni, menurut Afrizal, melakukan
perawatannya mesti dengan perasaan dan jika itu dilakukan hasilnya luar
biasa.
“Setiap hujan turun semua tanah dalam pot saya gemburkan, sebab setelah
hujan tanah bantat dan mengganggu pertumbuhan tanaman,” katanya.
Untuk pemasaran Afrizal tidak kesulitan. Lubuk Minturun yang terkenal sebagai kawasan usaha tanaman hias selalu ramai dikunjungi pembeli. . Peluang pemasaran pun sudah tampak di matanya, misalnya kosongnya pemasaran tanaman hias dari Medan di Pasar Raya. Namun ia terbentur dana.
“Saya belum pernah membawa tanaman hias saya ke pasar, umumnya pembeli
datang ke sini, untuk membawa ke pasar kekuatan saya usaha saya belum
cukup karena stok masih kurang, induknya tidak banyak, baru sekitar 250
batang, dari tiap jenis paling hanya lima batang, dan yang paling mahal
hanya aglounema jenis pride Kuchin yang harganya sebatang Rp600 ribu,”
katanya.

Saat itu pula ia menyadari dibanding daerah lain
seperti Kalimantan dan beberapa daerah di Jawa, perhatian BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) dan pemerintah terhadap usaha mikro di Sumatera
Barat kurang. Kesimpulannya, di daerah lain jangankan usaha pertanian, usaha bakso gerobak saja mendapat kredit lunak dari program PUKK.
“Peserta dari Kalimantan mengatakan selalu mendapat kredit lunak
melalui program PUKK, dikasih bunga 4 persen, sebelum uang keluar
diberi pelatihan kewirausahaan dari cara mengelola usaha sampai
pembukuan diajarkan, biaya pelatihan gratis sampai makan dan
penginapan, hal yang sama tidak pernah didapatkan di Sumatera Barat, di
Lubuk Minturun ini puluhan pengusaha tanaman hias yang menyerap banyak
tenaga kerja bagi penganggur, tapi mereka berusaha sendiri,” katanya.

0 comments: